Rabu, 08 Desember 2010

MGMP BERMUTU PANGKEP

MGMP BERMUTU MATEMATIKA WIL II PANGKEP

Pertemuan ke...
pelaksaana tindakan 
pada pelaksanaan tindakan di adakan di SMP Neg 2 pangkep
dengan guru model adalah HEKMAWATI, S.Pd

Mata Pelajaran/Topik :
Nilai satuan, Nilai keseluruhan
Kelas/Sekolah           :
VII E/SMPN I Pangkajene
Nama Pengajar          :
HEKMAWATI, S.Pd




TAHAP
FOKUS PENGAMATAN
HASIL OBSERVASI
KEGIATAN AWAL
Apersepsi dan motivasi
1.  Apa yang dilakukan guru untuk menggali pengetahuan awal atau memotivasi siswa?
Guru menggali pengetahuan siswa dari kebiasaan siswa berbelanja, menentukan pengetahuan prasarat 1 losin= 12 biji,1 gros = 144 biji, 1 kodi = 20 biji.
2   Bagaimana respons siswa? Apakah siswa bertanya tentang sesuatu masalah terkait dengan apa yang disajikan guru pada kegiatan awal?
Rispon siswa sangat positif siswa menjawab pertanyaan dari guru.
KEGIATAN INTI
Materi Ajar:
3. Apakah guru memberikan penjelasan umum tentang materi ajar atau prosedur kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa?
Guru memberikan penjelasan singkat tentang kegiatan belajar siswa.
Guru membantu siswa baik individu maupun kelompok.
Pada saat kerja kelompok di temukan siswa no: 28,9,23 paling aktif no 12 kurang aktif hanya menunggu jawaban teman.
4. Bagaimana keterkaitan antara pembelajaran dengan realita kehidupan, lingkungan dan pengetahuan lainnya?
Guru memberikan contoh dalam kehidupan siswa dalam berbelanja di sekolah dikaitkan dengn nilai satuan dan nilai keseluruhan.



TAHAP
FOKUS PENGAMATAN
HASIL OBSERVASI
Pengelolaan sumber relajar, media atau peralatan:
5. Apakah guru terampil dalam memanfaatkan dan mampu memanipulasi media pembelajaran
sumber belajar siswa belum banyak di manfaatkan  misalnya buku paket dibiarkan tertutup di atas meja.
6. Bagaimana interaksi siswa dengan  sumber belajar/media?
siswa berfokus pada lks dari guru belum memanfaatkan buku sumber.
Strategi pembelajaran
7. Apakah proses pembelajaran dilaksanakan dengan strategi yang direncanakan secara lancar?
Strategi pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan rencana yang tertuang dalam rpp
8. Apakah siswa dapat mengikuti alur kegiatan belajar?
Siswa secara aktif, kreatif mengikuti alur kegiatan belajar dari guru.
9. Bagaimana cara guru memberikan arahan yang mendorong siswa untuk bertanya, berpikir dan beraktivitas?
Guru sering berkomunikasi antar siswa tentang kesulitan belajar siswa, tentang hasil belajar.
10.Apakah siswa aktif melakukan kegiatan fisik dan mental (berpikir)? Berapa banyak siswa yang aktif belajar?
Siswa berintraksi sangant baik, hampir siswa berintraksi antar anggota kelompok.
KEGIATAN PENUTUP
Penguatan/ Konsulidasi
11.Bagaimana cara guru memberikan penguatan, dengan mereviu, merangkum atau menyimpulkan?
Guru menyuruh perwakilan kelompok untuk membacakan hasil diskusi kelompok dan kelompok lain menanggapi. Guru memberikan penguatan memberikan jawaban yang benar. Guru membuat kesimpulan dengan menuliskannya di papan tulis.
12.Apakah guru memberi tugas rumah untuk remidi atau penguatan?
Guru memberikan pr sebagai pengutan.

TAHAP
ASPEK PENGAMATAN
HASIL OBSERVASI
Evaluasi
13.Bagaimana cara guru melakukan evaluasi pembelajaran?
Guru memberikan soal evaluasi per individu
14.Bagaimana ketuntasan belajar siswa?
Ketuntasan belajar belum bisa digambarkan karena berapa hasil evaluasi individu belum di komunikasikan
KOMENTAR OBSERVER
Keterlaksanaan skenario pembelajaran (berdasarkan RPP): sintag-sintag atau tahapan scenario telah dilalui tahapdemi tahap secara sistematis.
Pelajaran berharga yang dapat dipetik oleh observer: siswa beraktifitas dengan baik, tertib dan efiktif.
Lain-lain: siswa yang mempunyai kemampuan lebih belum di optimalkan, contohnya siswa dilarang untuk menjawab soal selanjutnya

Pangkajene, 02 Desember 2010 ,
                                                                   Observer,

                                                                   (Drs  SUDARTO)
                                                                  



Minggu, 05 Desember 2010

pendidikan karakter


Urgensi Pendidikan Karakter

Prof . Suyanto Ph.D
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.
Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character… that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter… adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Memahami Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
Dampak Pendidikan Karakter
Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.
Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
sumber : Ditjen Mandikdasmen – Kementerian Pendidikan Nasional

Contoh ilustrasi  langkah-langkah penerapan pendidikan karakter dalam pembelajaran dapat dilihat di SINI